UPACARA TIWAH
(Antara kebudayaan
dan Keagamaan)
Indonesia dikenal sebagai negara dengan ragam pulau dan
kebudayaan. Daya tarik wisatanya terletak pada keindahan alam serta
keunikan-keunikan yang dimiliki setiap wilayah di Indonesia. Bangunan
bersejarah, keindahan pantai, tari-tarian, makanan khas, ukiran, sampai pada
kegiatan masyarakat dalam berbagai acara budaya. Menurut Koentjaraningrat
,“Kebudayaan adalah suatu sistem gagasan dan rasa, tindakan serta karya yang
dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat, yang dijadikan miliknya
dengan belajar”. Salah satu hasil kebudayaan yang jarang disoroti melalui media
pengkabaran adalah upacara Tiwah yang berasal dari suku Dayak Ngaju di
Kalimantan tengah. Upacara Suci Tiwah adalah upacara kematian agama Hindu
kaharingan yang dilakukan untuk memimpin liau (arwah) didalam perjalannya
menuju lewu liau (tempat peristirahatan/ surga). Lewu liau adalah tempat jiwa
dipersatukan dengan nenek moyangnya, dan untuk kedua kalinya memakamkan
tulang-tulang orang yang sudah wafat di tempat peristirahatan tetap yang di
sebut sandung.
Tiwah merupakan upacara kematian kedua, karena sebelum
dilaksanakanTiwah, ada upacara kematian yang pertama dengan memimpin liau
menuju tempat peristirahatan sementara, yaitu di bukit pasahan raung. Pasahan
raung adalah tempat pemondokan sementara peti mayat orang yang mati dan
biasanya dibuat dihutan yang jauh dari perkampungan. Upacara Tiwah tidak boleh
diabaikan karena pengabaiannya akan menyebabkan liau yag bertahan di bukit dan
dipercaya dapat mendatangkan bencana bagi keluarga yang masih hidup. Oleh
karena itu, suku Dayak Ngaju percaya bahwa orang yang sudah meninggal sangat
bergantung dengan keluarganya yang masih hidup. Keluarga yang masih hiduppun
bergantung kepada arwah nenek moyang mereka yang dipercayai sewaktu-waktu dapat
datang kembali ke dunia untuk berhubungan dengan keluarga yang masih hidup
untuk menyampaikan petuah, nasihat, ataupun teguran apabila terjadi
pelanggaran-pelanggaran adat leluhur di dunia, terutama di kalangan keluarga
arwah. Bilamana teguran tersebut terjadi maka yang ditegur akan menderita
penyakit puji liau (teguran arwah) yang kalau tidak segera dijawab dengan tepat
akan menyebabkan kematian.
Dalam kehidupannya suku Dayak Ngaju harus melestarikan
budaya dan adat istiadat yang ada, sehingga ketika meninggal, arwahnya akan
diterima oleh nenek moyang yang terlebih dahulu pulang ke negeri para arwah
atau lewu liau. Apalagi jika ada orang dari suku ini yang meninggal secara
tidak wajar, misalnya karena dibunuh, maka dianggap mati secara tidak luhur
karena menurut mereka ia mati dengan terpaksa dan belum waktunya untuk mati.
Rohnya akan mengalami penderitaan, baik di dunia maupun di akhirat karena ia
tidak diberikan tempat. Arwahnya akan bergentayangan di bumi dan di langit dan
arwahnya tidak diterima oleh nenek moyang mereka. Oleh karena itu, tidak heran
jika orang Dayak Ngaju sangat menghormati dan mentaati adat-istiadatnya serta
takut untuk melakukan kejahatan, karena jika tidak, maka penderitaan di
akhirat akan menanti dirinya. Akan tetapi penderitaan tersebut akan dapat
diakhiri melalui upacara Tiwah ini.
Jika kita berbicara tentang upacara suci Tiwah secara umum,
jelas akan berhubungan dengan Agama Kaharingan atau Agama Helo. Agama
Kaharingan adalah agama suku bagi orang dayak yang ada di Kalimantan. Mereka
yang menganut kepercayaan tersebut, hidup dalam mitos-mitos yang dibangun
berdasarkan kepercayaan yang mereka anut. Kaharingan berasal dari kata haring
ditambah dengan awalan ka dan akhiran an, yang kemudian menjadi Kaharingan.
Haring artinya hidup atau bisa juga berarti tumbuh dengan sendirinya. Jadi
Kaharingan sama dengan agama yang hidup dan tumbuh berdasarkan pesan Tuhan atau
Ranying Hattala Langit melalui perantara para leluhur atau nenek moyang.
Kaharingan ada semenjak Ranying Hatalla Langit menciptakan manusia dan mengatur
segala sesuatunya agar kelak manusia dapat menuju kehidupan yang sempurna dan
abadi. Menurut kepercayaan ini, manusia diciptakan dari tanah milik Ranying
Hattala Langit. Mengapa diciptakan berasal dari tanah milik Ranying Hattala
Langit, karena jika dari tanah milik manusia di dunia, tanah itu dikatakan
tanah sial.
Menurut kepercayaan Agama Kaharingan setiap manusia
diciptakan atau dilahirkan dari tiga unsur, yaitu unsur yang berasal dari Ranying
Hattala Langit, ayah dan ibu secara biologis. Jika salah satu dari ketiga unsur
tidak ada, maka kelahiran dianggap tidak sempurna. Setalah manusia itu wafat,
maka ketiga unsur tadi diantar oleh Duhung Maha Tandang[1] ke tempat yang telah
ditetapkan oleh Ranying Hattala Langit sejak awal.
Tiga tahapan pelaksanaan upacara kematian menurut suku dayak:
Penguburan, menyerahkan arwah yang meninggal kepada kepada
Raja Entai Nyahu yang bertugas sebagai penjaga kuburan.
Tantulak Ambun Rutas Matei atau istilah lainnya Mapas pali
yaitu untuk menjauhkan keluarga dari arwah yang meninggal dari segala bentuk
kesialan dan kematian.
Upacara Suci Tiwah ialah upacara sakral terbesar untuk
mengantarkan jiwa dan roh manusia yang telah meninggal dunia menuju tempat yang
dituju yaitu Lewu Tatau Dia Rumpung Tulang, Rundung Raja Dia Kamalesu Uhate,
Lewu Tatau Habaras Bulau, Habasung Hintan, Hakarangan Lamiang atau Lewu Liau
yang letaknya di langit ke tujuh.
Upacara Suci Tiwah adalah upacara keagamaan, bukan upacara adat yang secara
umum dilakukan oleh suku Dayak di Kalimantan. Upacara ini dapat dilaksanakan
dengan syarat arwah-arwah yang ditiwahkan itu semasa hidupnya harus beragama
Kaharingan. Didalam pelaksanaannya, upacara suci Tiwah diberikan tata adat dan
tata cara khusus dengan hikmat dan bersih sebagaimana telah diatur sejak dahulu
kala dan sampai sekarang tetap diingat dan dilaksanakan oleh umat Kaharingan.
Nilai-nilai keagamaan, budaya maupun sosial yang terkandung di dalamnya,
menjadikan Upacara Suci Tiwah sebagai upacara tertinggi dan beresiko tinggi
bagi umat Kaharingan. Oleh karena itu, pelaksanaan dan persiapan segala sesuatu
harus dilakukan dengan baik dan cermat, karena jika terjadi kekeliruan dalam
pelaksanaannya, maka para ahli waris yang ditinggalkan akan menanggung beban
berat. Sebagai contoh, jauh dari rezeki di masa mendatang, kesehatan terganggu
atau sakit-sakitan, menanggung berbagai kutukan di masa mendatang.
Tujuan Upacara Suci Tiwah ialah mempersatukan ketiga unsur yaitu unsur Allah
(Hatalla), Bapak, Ibu. Upacara ini tidak hanya diperuntukan bagi orang yang
mati secara tidak wajar (dibunuh, tabrakan, dll) melainkan untuk semua penganut
agama Kaharingan yang meninggal. Jika keluarga dari orang yang meninggal tidak
menyelenggarakan upacara suci Tiwah, maka keluarga yang bersangkutan akan hidup
dengan kesialan atau hidup di ddalam hukum karma (pali). Contohnya, dalam
pendidikan gagal dan hidupnya selalu tertuju dalam hal-hal negatif. Selain itu
arwah yang tidak ditiwahkan itu akan tetap tinggal di pulau raung dan akan
bergentayangan. Oleh karena itu, upacara suci Tiwah harus dilakukan agar arwah orang
yang sduah meninggal dapat mencapai surga atau disebut Lewu Tatau Dia Rumpung
Tulang, Rundung Raka Dia Kamalesu Uhate, Lewu Tatau Habaras Bulau, Habasung
Hintan, Hakarangan Lamiang atau Lewu Liau.
Ditengah kebudayaan Indonesia yang beragam dan begitu kuat ternyata beberapa
masyarakat masih membawa tradisi budayanya (agama buminya) kedalam gereja tanpa
harus mempertimbangkan apakah sesuai dengan inti ajaran agama Kristen atau
tidak. Hal ini terjadi di GKE Eka-Asi Tangkehan yang menyelenggarakan Upacara
Suci Tiwah. Umat Kristen adalah persekutuan orang-orang percaya menjadi suatu
umat yang mengemban suatu gaya hidup berdasarkan ajaran dan perilaku seorang
juruselamat, Yesus Kristus. Persekutuan orang-orang percaya ini biasanya
disebut dengan satu istilah yang populer yaitu GEREJA.[2] Sebagai orang-orang
kristen yang mengaku percaya, ternyata orang-orang kristen tidak menutup diri
terhadap nilai-nilai budayanya, khususnya orang dayak Ngaju yang menjadi jemaat
“Gereja Kalimantan Evangelis” (GKE). Tidak dapat dipungkiri pengaruh budaya
Kaharingan masih terlihat di dalam kehidupan bergereja dan berjemaat. Di
GKE Eka Asi-Tangkehan, Kalimantan tengah, jemaat kristen masih menyelanggarakan
dan melestarikan Upacara Suci Tiwah. Tiwah terakhir diadakan pada tahun 2006
dan diselenggarakan oleh tiga keluarga.
Kematian dalam perspektif kristen tidak hanya berbicara tentang definisi
kematian atau berbicara dosa yang sangat berkaitan erat dengan kematian
rohani-jasmani melainkan tidak lepas dari sifat dan kuasa Allah.[3] Kematian
itu adalah salah satu kenyataan hidup karena dosa juga adalah salah satu
kenyataan hidup. Kematian datang karena dosa , Roma 5:12 “Sebab itu, sama
seperti dosa telah masuk ke dalam dunia oleh satu orang, dan oleh dosa itu juga
maut, demikianlah maut itu telah menjalar kepada semua orang, karena semua
orang telah berbuat dosa.” Kematian jasmani hanya sebagian dari akibat dosa.
Dosa tidak mempunyai belas kasihan sehingga kita berpisah dari Allah,
mengakibatkan manusia memerlukan penebusan, sehingga manusia dapat dibawa
kembali kepada cahaya Tuhan. Allah sungguh bekerja bagi kebaikan semua orang
yang percaya kepada-Nya Dai telah melihat manusia ketika dihancurkan oleh
kejatuhan ke dalam dosa. Manusia tidak mampu datang kembali kepada-Nya, dan
oleh sebab itu Allah sendiri yang menghampiri manusia. Inilah arti inkarnasi
Yesus Kristus.[4] Siapa yang bisa mengalahkan dosa maut? Hanya Allah. Oleh
karena itu, Dia datang dalam wujud manusia. Bagaimana ia datang? Dia
memasuki aliran sejarah manusia untuk menyamakan diriNya dengan manusia.
Mengapa Dia datang? Dia berkata bahwa Dia datang untuk memberikan nyawaNya
sebagai tebusan bagi banyak orang, Markus 10:45 “Karena anak manusia juga
datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan
nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang”. Secara rohani seorang yang
percaya pada Kristus mempunyai hidup yang kekal berdasarkan iman pribadinya
pada Dia. Yesus berkata, “Sesungguhnya barangsiapa mendengar perkataanKu dan
percaya kepada Dia yang mengutus Aku, ia mempunyai hidup yang kekal dan tidak
turut dihukum, sebab ia sudah pindah dari dalam maut ke dalam hidup, (Yoh.
5:24)”.
Upacara Suci Tiwah yang dilaksanakan pada bulan September, tahun 2005 ini
dilakukan oleh tiga keluarga. Upacara ini mereka lakukan selain menjadi tradisi
masyarakat Dayak Ngaju, juga bertujuan untuk menghantarkan arwah orangtua
mereka yang beragama Kaharingan menuju Lewu Tatau untuk mendapatkan kehidupan
yang suci dan sempurna. Keyakinan akan adanya keselamatan melalui Upacara Suci
Tiwah, menimbulkan rasa tanggung jawab yang tinggi kepada arwah orangtua yang
selama hidupnya menganut agama Kaharingan, dan inilah yang menjadi salah satu
alasan keluarga mereka melaksanakan Upacara Suci Tiwah. Masyarakat menganggap
bahwa upacara ini adalah tradisi dan merupakan upacara besar bagi umat
Kaharingan. Oleh rasa kebersamaan dan kekerabatan yang tinggi, masyarakat sadar
bahwa partisipasi mereka sangat dibutuhkan dalam pelaksanaan upacara suci Tiwah
berlangsung.
Beberapa faktor diselenggarakan Upacara Suci Tiwah oleh gereja yang didapatkan
berdasarkan wawancara dengan beberapa jemaat GKE Eka-Asi Tangkahen adalah:
Kebudayaan
Upacara Suci Tiwah adalah kebudayaan suku Dayak Ngaju yang hadir melalui
kehadiran Agama Kaharingan. Oleh karena itu, Kaharingan tidak akan dapat
dipisahkan dari kehidupan dan kebudayaan masyarakat suku Dayak Ngaju. Upacara
ini terus dilakukan juga dengan alasan untuk melestarikan kebudayaan.
Sosial
Masyarakat Dayak Ngaju sangat melekat dengan budaya gotong royong. Sebagai
contoh, ketika menanam dan musim panen tiba, maka masyarakat Dayak Ngaju saling
bergotong-royong untuk membantu keluarga atau kerabatnya. Sama halnya dengan
upacar pernikahan dan upacara kematian.
Kewajiban atau tanggung jawab keluarga
Rasa tanggung jawab yang tinggi menuntut peran yang penting bagi keluarga dalam
proses pelaksanaan Upacara Suci Tiwah, diantaranya ialah: biaya yang besar,
tanggung jawab terhadap arwah yang ditiwahkan, memerlukan kebersamaan dan rasa
sosil yang tinggi karena upacara ini memakan waktu yang cukup lama dan
melibatkan banyak orang.
Pendidikan
Walaupun sudah menganut agama kristen, pengaruh agama Kaharingan yang pernah
mereka anut tidak hilang begitu saja. Faktor pendidikan tidak berpengaruh
secara signifikan terhadap pendapat atau pandangan masyarakat tentang Upacara
Suci Tiwah. Walaupun masyarakatnya memiliki tingkat pendidikan SMP, SMU, sampai
S1.
Ekonomi
Karena upacara Tiwah sangat mahal dan membutuhkan waktu yang lama, banyak
masyarakat Suku Dayak yang melakukan Upacara Suci Tiwah secara koletif,
bersama-sama dengan keluarga lainnya. Dengan demikian biaya yang ditanggung
lebih ringan.
Apakah Upacara Suci Tiwah bertentangan dengan Iman
Kristen?
Dalam
Tiwah, 2008. Penulis mendapatkan informasi bahwa jemaat yang di GKE Eka-Asi
Tangkahen masih memegang adat budaya agama pribuminya, yaitu kaharingan.
Berdasarkan informasi yang didapatkan melalui wawancara dan bukti tertulis
beberapa jemaat menganut agama Kristen hanya karna ingin melamar pekerjaan
seperti pegawai negeri. Jika ingin melamar pekerjaan, pemerintah memberikan
syarat ialah harus menganut agama yang diakui oleh Pemerintah. Hal inilah yang
menjadi motivasi untuk memeluk agama kristen. Nilai-nilai agama Kaharingan
tidak akan bisa hilang dari kehidupan masyarakat Dayak Ngajuk, sekalipun dalam kehidupan
bergereja. Kenyataannya bahwa agama Kaharingan telah dahulu hadir didalam hidup
suku Dayak Ngaju dan sudah menumbuhkan rasa tanggung jawab akan budaya
tersebut. Agama Kristen bisa dikatakan sukses dalam penyebarannya dikalangan
masyarakat Dayak Ngaju, karena hampir diseluruh pelosok Kalimantan Tengah
didirikan gereja yang disebut Gereja Kalimantan Evangelis. Tetapi walaupun
penyebarannya diakui sangat tinggi, namun ajaran yang ada di dlaam agama
kristen belum bisa mendarah daging didalam masyarakat Dayak Ngaju. Ini
merupakan salah satu fenomena budaya dalam kaitannya dengan agama Kristen.
Daftar Pustaka
http://rid755.wordpress.com/2012/07/page/2/ di akses pada 15
feb 2014, 20.19 wib
http://fauziyah-ziyaazira.blogspot.com/2013/04/upacara-tiwah-suku-dayak.html
di akses pada 15 feb 2014, 20.19 wib
http://www.gunungmaskab.go.id/pariwisata/wisata-budaya/tiwah-2.html
di akses pada 15 feb 2014, 20.19 wib
http://budaya-indonesia.org/Tiwah/ di akses pada 15 feb
2014, 20.19 wib
http://www.bimbingan.org/pengertian-budaya-menurut-koentjaraningrat.htm
di akses pada 15 feb 2014, 20.19 wib
Jeniva, Isabella dan David Samiyono. 2008. “Tiwah”.
Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana Press
[1] Duhung mamatandang: Roh halus yang bertugas mengantar
roh yang telah meninggal dalam acara Tantulak dan upacara suci Tiwah yang mana
dalam acara Tantulak roh tersebut diantar sampai Bukit Nalian Lanting Lewu
Rundung Kereng Naliwu Rahan, sedangkan dalam upacara suci Tiwah roh-roh orang
yang telah meninggal tersebut diantar ke Lewu Tatau Dia Rumpang Tilang Isen
Raja Kamalesu Uhat, dan menggunakan Banama Nyahu untuk mengantar roh tersebut.
[2] Ibid., 124-125 dalam Tiwah
[3] Tiwah., 26
[4] Tiwah., 27
Sumber : http://isbd-alv.blogspot.com/2014/03/upacara-tiwah.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar